Sujud Terakhir di Kairo

29/09/2012 17:20

 

Mesir sekarang sedang musim dingin, tapi suhu udara di sini panas sejak beberapa hari lalu. Sudah 8 hari para demonstan membakar langit kota Kairo dengan semangat revolusi menggulingkan pemerintahan Hosni Mubarak. Tidak ada lagi perbedaan disini, semua yang bersedia turun tidak membawa sebagai apa dia dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti juga aku, yang masih sekolah di tingkat menengah di sekolah kajian islam. Ya aku ingin menjadi ulama besar suatu saat nanti, bersekolah di Al-azhar University dan menjadi duta islam dalam percaturan dunia.
 
Aku bukan berasal dari Kairo, tepatnya dari kota Beni Sueif, 140 km dari Kairo. Ayahku yang seorang revolusioner sejati memaksa untuk ikut ambil bagian dalam membuat sejarah baru di negaraku. Sejak hari pertama demonstrasi dimulai, dia orang petama di dikeluarga kami yang tidak bisa lepas mengikuti perkembangan berita ini melalui televisi. Beginilah kami bangsa arab, tidak ada yang lebih menarik untuk dibahas melainkan politik dan kejelekan bangsa sendiri.
 
Aku tidak terlalu paham tentang seluk beluk politik di negeriku sendiri. Bahkan aku sering lupa siapa presiden pertama negara kami, sebegitu parahnya diriku tentang negaraku sendiri. Tidak dengan ayah yang berbeda 180 derajat, dia sangat rinci ketika menjelaskan bahwa ketika dia baru lahir dan terjadi revolusi yang membuat negara kami menjadi negara demokrasi, maka kelahirannya seperti pertanda revolusi demokrasi. Atau ketika seorang Anwar Sadad, presiden kami yang tewas terbunuh oleh seorang perwira angkatan bersenjata yang melakukan serangan membabi buta pada tanggal 6 oktober 1981 saat diberlangsungkannya parade angkatan bersenjata. Ayah selalu menceritakan bagaimana dia menjadi saksi sejarah dimulainya awal pemerintahan Mubarak.
 
“engkau tahu anakku, ayah saat itu berusia 30 tahun, lebih tua dari kau saat ini,,,usia yang sudah bisa membedakan siapa yang benar dan salah dinegara ini” ucapnya berulang kali.
 
Ayah pernah bercerita bila pada awalnya dia sangat menaruh harapan besar pada sosok Mubarak. Tapi keadaan yang tidak berpihak pada kehidupan keluarga kami dan jutaan masyarakat Mesir meruntuhkan semua kesan sosok yang sangat diharapkan menjadi sosok yang sangat tidak diharapkan keberadaannya di Mesir.
 
“kamu ingat anakku,,,,,jadilah seorang yang arif dan bijaksana, dimana kebenaran merupakan pedang yang selalu dibawa kemana dia pergi. Jadilah pemimpin seperti Rasulullah, tiada pemimpin sebaik dia. Setidaknya engkau kelak bisa mencontoh akhlak baginda rasul” aku mengangguk-angguk setuju ketika ayah bercerita tentang sosok yang sangat kukagumi, diam-diam aku setuju dengan pendapat ayahku.
 
Itulah yang menyebabkan aku berada di Kairo sekarang, karena desakan ayah yang ingin menjadi saksi sejarah untuk kesekian kalinya dan melihat secara langsung sang Presiden lengser di depan mata, bukan dari layar televisi seperti yang sudah-sudah. Aku memang tidak sampai hati melihat ayah pergi sendiri ke Kairo hanya untuk alasan seperti ini, sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga, rasa tanggung jawab itu kini tumbuh. Aku yang kelak menjadi lengan pelindung ketika ayah sudah tua renta, sama seperti dia melindungi semasa aku kecil, bahkan hingga sekarang.
 
Tepat tanggal 2 februari 2010 pagi waktu Kairo, aku dan ayah sampai di kota yang sedang tidak tidur beberapa hari ini. Perjalanan panjang dari tempat kami tinggal menuju Kairo benar-benar diluar dugaanku. Jam malam yang berlaku membuat kendaraan yang mengangkut kami harus menuggu lama hingga pagi menjelang untuk lewat perbatasan kota. Tentara yang lalu lalang disepanjang jalan memberi isyarat padaku bahwa memang kondisi sangat tidak bersahabat, perang kepentingan baru saja dimulai.
 
Hanya ayah yang banyak berbicara ketika setiap kali pemeriksaan oleh para tentara maksud kedatangan kami ke Kairo, ayah yang seperti biasa sangat antusias menjelaskan
“tidak ada kepentingan satu dua orang dalam negara Mesir ini, kepentingan yang aku bawa dari Beni Sueif sama dengan apa yang kamu inginkan, Mesir yang sejahtera” sambil memegang pipi seorang tentara, bahkan dia pernah memeluk tentara lain untuk menunjukkan rasa damai yang dibawanya.
 
“islam tidak mengajarkan kekerasan dalam bentuk apapun, islam adalah rahmat bagi seluruh alam” teriaknya sambil bertakbir, mata sebagian tentara berkaca-kaca.
 
Baru dua kali aku menginjakkan kaki di Kairo, pertama saat aku masih kecil dan tidak ingat apa-apa tentang itu. Dan pagi ini Kairo menyambutku dengan sejuta orang yang datang dari seluruh negeri tapi satu tujuan. Luar biasa Kairo pagi ini, baru sekali ini dalam hidupku melihat manusia sebanyak ini berkumpul dalam satu tempat. Kekuatan apa yang menggerakkan mereka sampai di sini. Yang kutahu mereka hanya punya satu kesamaan, niat.
 
Ingin aku mengunjungi Universitas Al-Azhar selama aku di kairo, menyaksikan kemegahan sejarah pendidikan islam yang melahirkan para ulama-ulama terkemuka. Membayangkannya saja aku sudah merinding, bagaimana bila nanti inshaAllah dua tahun lagi aku memasuki gerbangnya dan memuaskan dahaga ilmuku hingga tak berujung. Sudah terbayangkan bagaimana nanti aku mengkaji al-quran bersama orang yang hafidz quran, membahas hadits dengan orang dari belahan dunia lain. Aku berada diantara orang-orang yang ingin menggali ilmu.
 
Dari kabar yang beredar karena isi pidato Mubarak tadi malam dimana dia tidak bersedia mundur telah membuat suasana di lapangan semakin tidak jelas. Batas waktu yang diberikan pihak demonstran sampai jumat seperti tidak digubris Mubarak. Atas nama ingin tetap berjuang dan amanah, sang presiden enggan turun. Karena itu pula niatku berkunjung ke Al-azhar batal dilakukan, karena tentara sudah menjaga setiap bagian sudut kota. Kampus juga sudah diliburkan, para mahasiswa yang kebanyakan dari luar negeri juga sudah bersiap kembali sementara kenegara mereka masing-masing. Yang tinggal hanya tinggal kami, bangsa Egypt. Ya ini masalah kita, mari kita selesaikan sekarang juga.
 
Gelombang massa yang terus memadati lapangan tahir mencapai puncaknya siang ini. Efek dari keputusan Mubarak dalam pidatonya, membakar semangat revolusi yang disulut sendiri oleh Mubarak. Himbauan untuk membubarkan diri hanya seperti angin lewat. Bahkan kondisi cepat sekali berubah-ubah, jika beberapa hari lalu angkatan bersenjata memihak kepada demonstran tidak dengan hari ini. Secara terang-terangan mereka memberikan dukungan kepada presiden. Memang benar tidak ada yang abadi didunia selain kepentingan.
 
Selepas juhur massa coba bergerak dari lapangan tahir menuju balai kota, jumlah tentara tidak sebanyak biasanya. Aneh memang. Lautan massa yang bersatu memang berjalan damai. Tidak ada alasan untuk mengambil cara-cara kekarasan, itu cara kuno yang tidak boleh lagi dipakai. Sebagai umat Nabi Muhammad tidak pantas jika kami melakukan itu. Siang itu semua orang berjalan dengan niat yang sama untuk perbaikan Mesir. Semua damai hingga terdengar kabar ada sekumpulan orang menamakan pendukung Mubarak yang menghadang laju arus massa. Kelompok yang kemarin bahkan tidak terdengar keberadaannya sekarang benar-benar ada di depan kami. Awalnya mereka memaksa kami untuk membubarkan diri karena hanya membuat onar selama demo ini berlangsung. Tuduhan mereka yang mengatakan karena ulah kami Mesir menjadi lumpuh dan mengancam agar kami segera menghentikan aksi kami.
 
Jalan damai diambil dengan melakukan negosiasi kedua belah pihak. Tapi tidak ada titik temu yang membuat keadaan semakin meruncing. Aksi saling hina tak terelakkan sampai puncaknya entah siapa yang memulai aksi saling lempar batu terjadi dikedua belah pihak. Aku menggapit ayah erat-erat takut kami tercerai berai diantara lautan manusia ini. Mengerihkan sekali terjebak dalam kondisi ditengah kerumunan ribuan masa yang tersulut emosi dan hujan batu yang sewaktu-waktu siap menghantam kepala benar-benar bukan kondisi yang aku inginkan. Yang terfikirkan hanya menyelamatkan ayah bagaimana caranya.
 
Ayah yang sudah mulai renta terlihat kepayahan ditengah hiruk pikuk ini, aku coba melindungi ayah dengan menjadi tameng hidup dari hujan batu. Benar-benar kondisi yang sangat mengerihkan. Saat aku berusaha melindungi ayah, aku juga harus melindungi diriku sendiri. Hanya sebuah tas ransel yang berrisi beberapa helai bajuku yang menjadi pelindungku dan juga ayah. Untuk keluar dari kerumuman masa ini sama sulitnya dengan menghindari terjangan batu. Aku hanya berusaha menjauh sejauh mungkin dari tempat ini.
 
Masa demonstran terdesak. Kelompok pro Mubarak semakin banyak, dan anehnya sekarang tidak ada lagi tentara yang berjaga bahkan melarai kami. Postur badan mereka besar-besar. Meski dari jumlah mereka kalah, tapi dari kesiapan untuk bertempur mereka jauh lebih siap. Kadang kami hanya seperti buih di lautan, banyak tapi tidak berdaya. Keberingasan massa pro Mubarak semakin menjadi-jadi, kami tersudut. Saat satu serangan balik yang tidak terduga-duga, massa kami terpecah belah. Aku tersudut dan ayah terlepas dari dekapanku.
 
Terik matahari dan kucuran keringat yang membasahi wajahku mengganggu penglihatan saat tetesan keringat mengenai mataku. Aku kehilangan ayah, fikirku cepat. Aku teriak sekencang-kencangnya memanggil ayah, tapi seperti sia-sia karena suaraku ditelan gemuruh. Saat orang lain maju mundur sesuai komando, aku bergerak tidak menentu. Mencari kesegala arah, rasa was-wasku sudah mencapai puncaknya. Kakiku bergetar hebat, tapi kukuatkan untuk tetap berdiri. Pandanganku sudah kabur tapi coba kutatap segala arah. Ayah benar telah lepas dari dekapanku, hanya tinggal ransel usang ini saja yang masih kupengang erat.
 
“kenapa aku tidak memegang ayah seperti aku memegang ransel ini” sesalku dalam hati, aku menangis ditengah gejolak. Bayangan masa kecilku dengan ayah seperti diputar ulang, yang terlihat hanya hitam putih aku dan ayah. Satu persatu aku ingat kenangan saat pertama kali aku ke Kairo, ke suangai Nil yang melegenda, bahkan ternyata aku pernah masuk ke halaman Al-azhar unversity. Ayah terlihat sangat muda ketika itu dan aku terlihat sangat kecil untuk memulai kuliah di Al-azhar. Aku tersenyum ditengah perih.
 
Aku pasrah dengan keadaan sebenarnya. Ayah telah hilang. Aku gagal melindungi ayah. Aku coba berfikir jernih harus berbuat apa. Kuputuskan untuk menyingkir dari kerumunan masa ini, benar-benar kepinggiran dari kerusuhan ini. Mungkin ayah ada disana, mungkin.
Dari pinggir jalan aku bisa melihat kedua belah kubu yang saling serang. Seperti orang yang netral posisiku sekarang, tidak dikeduanya. Aku coba duduk di trotoar jalan karena kakiku sudah tidak kuat berdiri, mataku juga sudah semakin kabur memandang. Di sepanjang trotoar para wartawan yang mengambil gambar hilir mudik. Mereka terlalu sibuk antara tugas dan menyelamatkan diri sendiri. Perang memang sudah dimulai dan yang lebih menyakitkan ini perang sesama kami. Aku menyandarkan tubuhku pada sebuah pohon di trotoar jalan, seorang wartawan yg sibuk mengambil gambar tiba-tiba saja mengalihkan perhatiannya padaku. Dia mengambil sebuah gambar dengan objek diriku yang terkulai lemah pada sebatang pohon. Wartawan itu menghampiriku sammbil berteriak “kepalamu berdarah, dibagian belakang. Akan kupanggilkan paramedic. Tunggu sebentat!!” wartawan itu berlari kearah kerumunan massa dan hilang.
 
Seketika saja alam yang tadi riuh menjadi diam, pasti hanya kesalahan pada telingaku karena kedua belah massa masih tetap saling lempar batu. Dalam kesenyapan itu lamat-lamat aku mendengar panggilan adzan. Aku lihat jam tangan, memang sudah masuk waktu ashar, lalu kenapa mereka tetap bertikai?. Sekarang hanya ada suara panggilan sholat dalam telingaku, tidak ada suara pertikaian.
 
“ALLAHU AKBAR....ALLAHU AKBAR”
 
Air mataku mengucur deras, Allah yang mana yang mereka bela?. Apakah ada dua Allah dalam alam semesta ini?. Siapa yang berhak mengakui Allah merekalah yang benar. Satu persatu lantunan adzan memenuhi jiwa kosongku. Dengan tertatih aku tayammum karena tidak kutemukan air didekat sini, sedang aku sudah tidak kuat berjalan. Kukeluarkan sejadah sederhana dari dalam ransel. Kuambil posisi agak menjauh dari trotoar, menjorok kedalam sebuah gang kecil. Aku lihat arah langit dimana matahari berada, karena aku bisa tahu dimana qiblat. Sekarang aku benar-benar tidak kuasa berdiri, terpaksa aku melakukan sholat sambil duduk. Dalam kepasrahanku sebagai hamba, atas rasa ikhlas atas apa yang sedang kualami, kutakbirkan dengan suara lirih sebagai penanda awal rakaat pertama sholat ashar.
 
Baru kali ini aku sholat se khusu’ ini, serasa Allah sangat dekat denganku. Rasa perih dan sakit yang luar biasa tidak kurasakan berarti. Rasa cintaku pada Allah mengalahkan semuanya saat itu. Aku paksakan untuk menyelesaikan sholatku meski aku sadari kepalaku sudah mati rasa. Luka menganga di kepala bagian belakang terlalu banyak mengeluarkan darah hingga aku lemah kehabisan darah. Hingga pada sujud terakhir di sholat ini dan kupanjangkan dari sujud sebelumnya. Dalam sujud aku merangkai doa untuk keselamatan ayahku. Dalam sujud aku meminta kedamaian untuk tanah Mesir. Dalam sujud aku memelas agar mati dalam keadaan beriman. Belum selesai sujud itu, tekanan yang kuat darah yg menuju kepala karena posisi kepala yg lebih rendah dari anggota tubuh lain. Salah satu pembuluh darah di luka pecah, disujudku yang terakhir aku bersimbah darah. Badanku terhempas ke sejadah saat akan melakukan duduk tasyahud akhir. Hanya dengan isyarat aku menyelesaikan sholat ashar itu. Badanku sudah tidak bisa bergerak, dingin menjalar di ujung kaki dan merambat keatas. Sebuah titik yang akan dialami semua manusia.....
 
“Itu dia disana!!!” teriak seseorang
 
Tiga orang berlari kearahku, seseorang yang kukenal wartawan tadi dengan orang lain yg kufikir paramedis karena dia mencoba memberikan pertolongan pertama. Disenternya pupil mataku, tapi tidak ada reaksi berarti. Dia berusaha sekuat mungkin membantuku, bahkan coba menghubungi seseorang diujung teleponnya.
 
Seorang lagi memangku badanku, dia dari tadi menangis  sambil berkata “rasyid,,,ini ayah,,,ini ayah” air matanya pecah dan menetes diatas darah yang simbah di wajahku.
 
Aku berusaha sekali berkata meski suaraku tercekat, melihatku kepayahan, ayah mendekatkan kupingnya ke arah mulutku.
 
“maafkan aku ayah”  hanya itu yang keluar dengan sekuat usaha
Tangis ayah pecah, dipeluknya aku kuat sembari membisikkan sesuatu. Aku dengar dengan sangat jelas
 
“ayo nak, ucapkan,,,,,La Ilaha Ilallah” perlahan sekali
 
Aku coba mengikuti, suaraku telah lebih dahulu diambil. Hanya bibirku yg bergerak-gerak seperti melafaskan sesuatu. Tapi maha besar Allah yang masih menghidupkan hatiku pada saat sakratul maut. Meski tidak dengan lisan, tapi hatiku mantap mengatakan “tiada tuhan selain Allah”
 
Medan, 3 Februari 11. 01:38am