Pentingnya Menabung Untuk Masa Depan Yang Lebih Baik

08/04/2017 22:09

 

Tinjowan, penghujung 1997

Namaku Fikri, anak pegawai dari sebuah perkebunan milik Negara  di pedalaman sumatera  Akan kuceritakan satu kejadian yang merubah pola pikirku tentang tabungan.

Seperti biasa dipenghujung tahun hujan turun hampir setiap hari. Tanah gersang yang biasanya berabu ketika dilewati seketika mejadi kubangan lumpur. Dedaunan yang memutih menjadi hijau kembali. Dan musim penghujan menjadi berkah tersendiri bagiorang-orang diperkebunan seperti kami, pohon sawit akan berbuah maksimal saat musim hujan.

Aku bersekolah di sekolah menengah pertama milik perkebunan. Kami yang bersekolah disini hampir keseleuruhan adalah anak karyawan perkebunan. Mulai dari anak pucuk pimpinan tertinggi sampai dasar terendah ada disini. Sekolah ini menghilangkan sekat pembatas tentang latar belakang kami, karena pendidikan adalah hak semua orang.

Seperti halnya pohon sawit yang bergembira jika musim hujan, kami anak-anak sekolah ini pun sangat menyukai hujan. Terlebih ketika hujan datang saat mata pelajaran olah raga, sepak bola lebih tepatnya. Badan penuh lumpur tidak menghalangi kami melepaskan bakat naluriah menggocek bola ditegah lumpur. Tak perlu sepatu khusus bermain bola, karena memang sebagian dari kami memang sangat tidak mampu, sepatu terbaik adalah dengan “nyeker”.

Tapi keriangan sepak bola kali ini tidak selesai sampai akhir, di penghujung laga salah seorang temanku mengalami hal sangat mengerikan. Berusaha mengontrol bola ditengah licinnya lumpur, Darmawan, nama teman ku itu terjatuh karena kakinya terperosok kedalam lubang. Bukan licinnya lumpur yang mengintai kami, tapi lubang yang tertutup rumput dan lumpur yang menjadi momok utama. Darmawan mengerang kesakitan, pergelangan kakinya bengkak seketika. Beberapa orang mencari air dan menyiram lumpur yang menutupi pergelangan kaki itu. warna hitam kaki anak pemanen buah sawit itu berganti menjadi biru. Kami semua terdiam, terpaku melihat Darmawan dilarikan guru kami ke puskesmas. Pertandingan bola kali itu selesai lebih awal.

Sudah satu minggu sejak kejadian itu dan Darmawan belum juga masuk sekolah. Rumahnya yang sangat jauh menghalangi kami untuk menjenguk. Orang tua Darmawan yang seorang buruh panen kelapa sawit ditempatkan di afdeling yang sangat jauh tempatnya dari sekolah kami. Bahkan karena jauhnya, Darmawan harus menumpang truk pengangkut sawit yang datang dan pergi membawa buah sawit yang baru dipanen ke pabrik pengolahan yang lokasinya tepat disamping sekolah kami. Pernah satu kali Darmawan bercerita dia harus menunggu truk untuk pulang sampai hampir maghrib, karena tidak musim panen jadi lalu lintas truk sangat jarang dan kebanyakan digudangkan.

Suasana kelas sekarang berbeda sejak tidak ada Darmawan, sudah memasuki minggu kedua sejak pertama kali dia tidak masuk sekolah. Rencana-demi rencana kami susun untuk menjenguk Darmawan, mulai dari hari apa kami kesana sampai buah apa yang akan dibawa. Terjadi diskusi yang alot mengingat jauhnya rumah si Darmawan, sampai belasan kilometer dari sekolah. Membawa buah tangan dengan mengendarai sepeda sejauh belasan kilometer bukanlah ide yang baik. Di tengah kebimbangan kami, ketua kelas angkat bicara. Pria nama ketua kelas kami, nama yang unik. Pria memberi ide kenapa tidak memberi uang saja sebagai bentuk bantuan kami sebagai sahabat. Teman-teman yang lain protes karena uang jajan yang pas-pasan tidak cukup kalau harus dibagi lagi untuk bantuan kemalangan. Ditengah kebuntuan itu, lagi-lagi Pria memberikan ide kenapa tidak dari uang tabungan kami saja. Ide yang cemerlang.

Salah satu hal yang perlu ku syukuri ketika masuk ke sekolah ini adalah, ada sarana dari sekolah kami untuk menabung sejak dini. Jadi kami sejak kelas satu punya akun tabungan sendiri. Tabungan yang dikelola tata usaha di sekolah kami bertujuan menumbuhkan minat dan kebiasaan menyisihkan uang jajan untuk ditabung. Tidak ada batasan minimal penyetoran dan uangnya bisa kami tarik ketika kami tamat nanti.  Ternyata sekolahku biar jauh nun dipedalaman kebun kelapa sawit tapi pola pikir guru-guru kami jauh menembus batas.

Satu kelas setuju dengan ide Pria tadi, ditentukan berapa masing-masing orang akan dipotong dari saldo tabungannya. Ini bukan nilai yang besar, seberapalah kemampuan kami anak sekolah menengah pertama bisa menyisihkan uang jajan kami yang memang sudah sedikit. Tapi nilai yang mau kami tunjukkan adalah masih adanya persahabatan yang erat diantara kami. Mungkin uang yang nanti kami bawa tidak serta merta menyembuhka sakit Darmawan, tapi setidaknya menunjukkan empati itu masih ada.

Sebagai perwakilan kelas, aku dan Pria melapor ke Kepala Sekolah perihal ide kami membantu meringankan beban Darmawan. Kepala Sekolah setuju dan mempermudah urusan kami untuk menarik uang kami. Didampingi seorang guru, pria dan aku pergi menjenguk Darmawan pada suatu minggu. Mengendarai sepeda motor milik Pak guru kami menempuh perjalanan melewati perkebunan sawit yang luas. Terbayang bagi kami perjuangan Darmawan setiap hari sampai ke sekolah.

Sesampai di rumahnya, Darmawan yang bersarung menyambut kami di tempat tidurnya. Sudah hampir tiga minggu dan belum ada perkembangan berarti dari kesembuhan kakinya. Darmawan masih belum bisa berjalan. Dengan malu-malu kami memberikan bantuan teman-teman sekelas. Terpikirkan oleh ku, apa uang kami bisa membantu kesembuhan Darmawan?. Orang tua Darmawan sampai terharu mendengarkan penjelasan kami bahwa uang yang kami bawa adalah hasil tabungan teman-taman sekelas. Ditengah haru yang mendera, orang tua itu bercerita kalau sampai hari ini Darmawan masih berobat kampung karena ketiadaan biaya. Ahh, pelan-pelan ada perasaan yang menusuk hatiku.

Diperjalan pulang, kami bertiga terdiam satu sama lain. Hanya suara sepeda motor yang memecah kebisuan. Dalam benakku aku berharap semoga saja semua orang punya akses yang sama untuk kemudahan mempunyai tabungan. Karena hari itu, aku yakin dan percaya kalau tabungan dapat membentuk kemandirian sikap dan keuangan untuk masa depan.

Selepas SMP aku melanjutkan sekolah ke kota Medan. Dan sejak masuk SMA aku sudah punya buku tabungan yang resmi, setiap kelebihan uang aku simpan ditabungan. Filosofi apa yag kita tanam itu yang kita panen sangat cocok dengan filosofi tabungan, sebagian biaya kuliahku dapat kuselesaikan dari  tabunganku selama ini. Juga untuk keperluan lain yang tidak harus meminta ke orang tua.  Pengalaman di waktu SMP itu membentuk keyainan dalam diriku kalau menabung membuat masa depan yang lebih baik.

Cerita ini didukung oleh Bank Sumut

#ayokebanksumut #banknyaorangsumut