Mimpi Yang (terpaksa) Mati

29/09/2012 17:14

 

Hari masih belum terang benar saat lelaki berusia sekitar empat puluhanan itu sudah berjalan ke ladang di kaki bukit barisan. Ada semangat lebih hari ini mengiringinya menuju sepetak ladang milik keluarga yang telah turun temurun diwariskan, ya hanya sedikit bahagian dari panjangnya jajaran bukit barisan. Atau sangat kecil jika dibandingkan dengan luas ladang yang dimiliki para orang kampung di kaki bukit itu.
 
Lelaki itu, seperti banyak laki-laki dikampung itu hanya bermata pencaharian dari berkebun dari lahan yang hanya sepetak. Bila orang lain memiliki berhektar lahan yang ditanami bernilai jual tinggi seperti karet atau jeruk, tidak dengan lelaki ini, hanya tanaman berumur pendek dan bernilai ekonomis yang sangat tergantung pasar menilai hasil kerja kerasnya. Sedikit tanaman kentang, cabe dan bawang menjadi satu-satunya tempat gantungan keluarganya untuk tetap hidup.
 
Hari ini ada pekan di kampung, ya pekan seperti pasar mingguan di tanah jawa menjadi ajang jual beli yang hanya ada di kampung lelaki itu. Alasan inilah yang menjadi semangat untuk dia berangkat ke ladang pagi-pagi sekali. Memetik cabai yang telah memerah, memanen kentang dan bawang merah yang sekian lama terpendam didalam tanah. Hari ini “mutiara” yang dirawat dengan kasih sayang akan dibawa ke pekan, fikir lelaki itu.
 
Ujung padi yang melengkung karena telah berisi dan meminta untuk dipanen mengusik perrjalanan lelaki itu, dia tidak punya lahan dan modal yang cukup luas untuk menanam padi. Riak air sungai yang sedikit keruh karena hujan tadi malam dan membawa banyak lumpur dari hulu seperti memberi tanda kepada lelaki itu untuk cepat bergegas, musim penghujan sudah masuk, dia akan menyapa kapan dia mau.
 
Udara pagi yang tiada tercemar masih dipeluk dingin udara perbukitan. Bahkan burung dan hewan penghuni perbukitan masih ragu-ragu keluar mencari makan. Ini masih terlalu pagi dan dingin untuk beranjak.
Disusurinya perlahan jembatan tua dari bambu tali ketika hendak melintasi sungai tadi. Biasanya sudah ada beberapa orang yang mengantri menggunakan jembatan ini. Tapi hari ini hanya dia sendiri. Hari memang masih terlalu pagi untuk melintas.
 
Dibalik jalan setapak, pohon-pohon tua, rumput liar yang meranggas, diujung tertinggi perbukitan tujuan lelaki itu. Disana dia akan menjemput rejekinya hari ini. Lelaki itu percaya dalam hidup ini dia tidak sedang mencari rejeki, karena semua manusia sudah ada garisan masing-masing tentang rejeki itu. Tinggal bagaimana dia mau menjemput atau tidak. Setidaknya itu yang dia ingat dari satu kali ceramah pengajian di mushola kampung. Lelaki itu meyakini benar pendapat itu. Karena itulah pagi ini dia melebihkan usahanya untuk dapat menjemput rejekinya, rejeki keluarganya.
 
Matahari masih berniat muncul ketika lelaki itu sudah berada di puncak bukit, tempat dia menjemput rejekinya.
 
Hanya satu dua orang melintas dan bertegur sapa ketika lelaki itu menuruni bukit dengan satu karung besar hasil kebunnya. Tidak seramainya, mungkin karena hari ini ada pekan di kampung. Pasti teman-temannya sesama petani telah bersiap-siap ke pekan dengan keluarga mereka. Bahkan sebuah keramaian yang disebut pekan seminggu sekali dianggap tempat rekreasi bagi beberapa orang dikampung ini.
 
Lelaki itu jadi teringat kedua anaknya, teringat janji ayah kepada anak untuk bisa membelikan sesuatu di pekan kali ini. Dicepatkannya langkah kaki untuk bisa sampai dirumah, di ujung persimpangan sudah ramai orang yang akan berjualan, tapi langkah kaki tidak berhenti disitu. Dia menjauh kearah ujung kampung, kearah rumahnya.
 
Didepan pintu rumah panggung mereka, kedua anaknya sudah menunggu tidak sabar. Melihat dikejauhan ayahnya datang, kedua anak itu berteriak kuat tidak jelas. Sang kakak baru berusia 5 tahun, belum bersekolah karena memang belum cukup waktunya. Sedang untuk TK tidak ada tersedia di kampung ini. Sang kakak bermain dialam.
 
Adiknya lelaki yang lucu, dia gemuk karena memang lahap jika makan. Usianya baru 3 tahun, masih celat dan merasa didunia ini hanya ada dia, kakak, ayah dan ibunya saja. Bukan salahnya jarang melihat orang lain, karena memang rumah mereka diujung perkampungan. Hanya mereka yang tinggal disana.
 
Lelaki itu berteriak riang saat melihat kedua anaknya sudah menunggu. Kakak beradik itu telah rapi menunggu ayahnya datang. Rambut mereka masih basah karena memang baru mandi pagi. Melihat ayahnya datang, kakak beradik itu berhambur menuruni anak tangga menyongsong sang ayah. Di samping rumah, perempuan itu sedari tadi tersenyum mengawasi tiga sosok yang sangat dicintainya. Dia adalah tulang rusuk lelaki itu, ibu anak-anak tadi. Melihat suaminya pulang, bergegas dia ke dapur membuat teh pagi ini, menghangatkan dinginnya udara pagi ini.
 
Sang kakak bercerita ingin agar ayahnya mau membelikannya buku gambar dengan pinsil warnanya, itu saja. Impian yang sudah lama ia pendam. Sang adik hanya diam ketika ditanya, dia memegang erat dan bersembunyi dibalik tangan sang kakak ketika lelaki itu bertanya akan dibelikan apa di pekan nanti. Seperti biasa dia pasti hanya meminta kue yang dijajakan para pedagang di pasar itu. Senyum lelaki itu terlihat merekah sekali pagi ini, membawa hasil ladangnya dan membelikan anak-anaknya impian yang menjadi satu-satunya rencana pagi ini.
 
Masih ada 15 menit lagi hingga pekan kali ini benar-benar dibuka seperti biasa. Teh hangat coba diseruput perlahan. Kedua anaknya setia menunggu tanpa berani bertanya kapan kita akan pergi ke pekan. Tapi tiba-tiba saja lelah itu datang tanpa ada pesan sebelumnya, mungkin waktu beberapa menit masih sempat untuk beristirahat, fikirnya. Kedua kakak beradik memijat sang ayah yang tidur dipangkuan sang kakak. Tawa riang anak lelaki itu yang mengira sedang bermain kuda-kudaan ketika kedua kaki kecilnya mendarat di punggung sang ayah. Sedang sang kakak memijat dengan lemah kepala sang ayah. Dalam pangkuan sang anak perempuan, lelaki itu pergi kealam mimpi.
 
Sudah 20 menit lelaki itu tertidur dan anak lelakinya sudah gelisah dengan kue yang ingin dicicipinya. Sang kakak yang masih setia memijat kepala ayahnya coba membangunkan dengan berbisik pelan. Lelaki itu diam, dia terlalu dalam di mimpinya. Tidak sabar dengan waktu, sang anak lelaki menggoncang badan ayahnya. Diam. Hangat yang tadi terasa dikulit sang ayah kini perlahan dingin. Wajah sang ayah tersenyum samar seperti orang tidur. Dia tidur yang panjang dalam pangkuan anaknya.
 
Pagi itu telah mati satu impian kakak, adik, istri karena matinya jasad tempat impian tadi coba dititipkan. Impian yang terkadang untuk coba dimimpikan saja tidak berani. Mimpi itu sekarang mati muda di iringi hujan di pagi hari. Musim penghujan memang telah datang.........
 
(based on true story)