Man Jadda Wajada

29/09/2012 17:28

 

Satu sore kira-kira empat hari saya kembali ke Indonesia,  saya mendapatkan sms yang isinya singkat tapi bikin bertanya-tanya. “apa yang anda fikirkan bila mendengar kata Man jadda wajada” titik tanpa ada lanjutannya. Saya bertanya-tanya apa arti pertanyaan ini dan saya jawab dengan singkat juga kalau saya juga suka kata itu, penyemangat bagi setiap orang yang percaya dibalik kesungguhan pasti ada hasil yang manis....pasti. Kelang sehari teman saya kembali mengirimkan pesan singkat menanyakan kepada saya tentang A. Fuadi yang seorang penulis novel. Sebagai orang yang tergila-gila akan membaca, saya awam dengan nama ini. Tidak pernah dengar lebih tepatnya. Hingga tiga hari kemudian saya menerima sebuah paket berwarna coklat berisi buku yang sangat tebal dan sekilas saya tersenyum membaca judulnya, mengingatkan saya pada sebuah merek obat. Paket itu sebuah kado ulang tahun yang telat tiga bulan.
Saya selalu terobsesi dengan pesantren. Entah kenapa selepas tamat SD keinginan yang kuat untuk menjadi santri semakin menjadi-jadi, belum lagi dua sahabat semasa Sekolah Dasar yang diterima masuk pesantren Gontor menjadikan keinginan itu seakan tidak terbendung. Tapi Tuhan berkata lain, saya diterima disalah satu SMP favorit dikampung saya dan terpaksa melupakan cita-cita kecil menjadi santri. Itulah yang membuat saya menyukai apa saja tentang pesantren dan ternyata seorang A. Fuadi mengobati kerinduan yang terlalu lama saya pendam.
Banyak penulis yang dalam tulisannya membuat suatu semboyan dan menjadi semacam tag bagi tulisannya itu. Tapi terkadang tag itu hanya menjadi sebuah kata-kata biasa yang tidak bermakna dikarenakan ketidak tepatan pemilihan kata dan kondisi yang diceritakan. Dan ini menjadi penting ketika sang penulis ingin membawa para pembaca mendapat semangat dari tokoh atau cerita yang disampaikan. Seorang A. Fuadi berhasil memadu padankan sebuah tag yang sangat sederhana dan umum malah dengan apa yang ingin disampaikan dalam novelnya ini “Negeri 5 Menara”.
Saya jadi teringat sebuah tag dalam buku “the Alchemist” karya Paolo Cohelco yang menceritakan tentang anak yang mencari takdirnya tanpa lelah dan selalu optimis tentang apa yang sangat diinginkannya dan mengusahakannya dengan sesungguh hati maka tidak ada yang tidak mungkin. Jadi tidak heran dari sekian panjang kata-kata yang dirangkai Paolo dalam novelnya dapat terwakili dengan sebuah kata yang berulang kali ia dengungkan sehingga menjadi semacam tag “siapa yang bersungguh-sungguh, maka alam semesta akan bahu-membahu mengabulkannya”. Itu pula yang terjadi pada novel Negeri 5 Menara ini, dari 400 halaman lebih yang disajikan kepada pembaca maka bila dikerucutkan menjadi suatu intisari cerita muncul suatu kesimpulan yang tidak lepas dati tag novel ini....man jadda wajada. Singkat tapi bermakna luas dan yang luas dapat diwakilkan dalam beberapa kata. Saya fikir A. Fuadi telah berhasil dalam masalah ini.
Kekuatan lain dari novel ini adalah kemampuan penulis mengkomunikasikan apa yang menjadi titik “gravitasi” cerita ini yaitu pesantren kedalam kata-kata yang ketika orang awam sekalipun dengan kondisi pesantren tidak kehilangan arah dengan apa yang ingin disampaikan penulis. Menariknya dibalik cover muka dan belakang diberikan pula gambaran tentang pesantren yang diceritakan. Menurut saya ini ide yang brilian, karena tidak membuat pembaca lari kemana-mana tentang gambaran pesantren. Mungkin bagi beberapa orang itu menjadi tidak penting karena membatasi kreatifitas imajinasi pembaca tentang pesantrennya sendiri. Setiap orang punya haknya sendiri...hehe^^.
Jadi kesimpulannya saya menemukan warna baru dalam dunia pernovelan Indonesia. Sebuah gagasan menulis yang natural meski beberapa orang bilang ini seperti novel yang sudah ada (dalam hal tema) tapi saya nilai ini menjadi pengulang yang sukses....sesukses pendahulunya. Dan terakhir kata demi kata dalam novel ini mengingatkan saya pada penulis favorit saya Ahmad Tohari.....seseorang yang bernama depan sama. Semoga menjadi penulis yang besar...amin.
(akhir 2009)