Cara Allah Membagi

29/09/2012 17:23

 

Sabtu kemarin saat ada keperluan membeli buku untuk “seseorang”, saya kesampaian juga membeli salah satu buku tentang Nasruddin Hoja yang merupakan seorang filsuf yang setara dengan Jalaluddin Rumi tapi sangat tidak seserius Rumi. Itu hal pertama kenapa saya sangat suka buku ini karena ketidak seriusan ternyata lebih bisa menyampaikan suatu essensi dari permasalahan yang diangkat Nasruddin. Saat pertama sekali membuka bagian buku ini, saya seperti sudah ditakdirkan membaca bagian ini dan setelah menyelesaikan buku ini saya tetap berfikir bagian ini menjadi favorit saya. Ini penggalan kisah tentang bagaimana cara Allah membagi.......
Empat orang lelaki mendatangi Nasruddin dengan membawa sekarung apel. Keempat orang tersebut ingin meminta Nasruddin agar dapat membagikan apel dalam karung secara adil.
            Nasruddin memenuhi permintaan mereka. Dia bertanya, ‘mana yang kalian inginkan, pembagian dengan cara Allah atau dengan cara manusia?”
            Mereka serempak menjawab, “dengan cara Allah, tentu saja”
Maka Nasruddin pun membuka karung apel itu dan memberikan separuh isinya kepada orang pertama. Kemudian sisanya ia ambil sepuluh butir dan ia berikan kepada orang kedua. Sisanya lagi ia berikan semuanya kepada orang ketiga, sementara orang keempat tidak mendapatkan apa-apa.
            Keempat orang itu spontan bertanya dengan heran, “pembagian macam apa ini...?”
            “begitulah cara Allah membagi”, jawab Nasruddin dengan tenang. “Dia memberikan seseorang dengan berlimpah, sementara yang lain sedikit, dan ada yang tidak mendapatkan apapun. Kalau tadi kalian memintaku membagi dengan cara manusia, tentu akua akan membagikan denngan jumlah yang sama pada setiap orang.”
            Mungkin kalau selama ini kita pernah berfikir mengapa Allah sangat tidak adil dalam mengatur hambaNya. Mengapa manusia didunia tidak kaya semua atau tidak miskin semua. Mengapa harus ada yang cantik atau jelek, mengapa ketidak seimbangan sangat sering terjadi pada kehidupan manusia.
            Tapi kalau kita mau sedikit merenung untuk apa semua itu diciptakan Allah tidak lain hanya untuk melihat apakah kita menjadi orang yang bersyukur ketika dalam posisi yang berlebih, diatas orang lain, atau yang benar-benar sesuai dengan keinginan kita. Tapi pada sisi lain apakah kita bisa menjadi orang yang sabar ketika kita dicoba dalam keadaan yang berkekurangan, jauh dari cukup, sepertinya doa kita tidak pernah dijawab Allah.
            Maha suci Allah yang menciptakan setiap hambanya dalam kondisi yang beraneka ragam. Ketika kita mendebat Allah tentang ketidak adilan maka sebaiknya kita berfikir ulang makna adil itu. Karena kita sering terperangkap dalam pengertian adil yang sama rata atau seimbang. Kenapa tidak kita tanyakan diri kita pada saat kita pada kondisi yang sulit, apakah kita sudah siap dititipkan kekayaan atau segala kelebihan apapun itu namanya. Dalam banyak kasus banyak orang yang tidak siap menerima perubahan keadaan yang teramat ekstrim dari melarat menjadi kaya raya tetapi hanya menjadi orang yang lupa pada Tuhannya. Dia merasa segala yang dia raih tidak lain karena keberuntungan, kerja keras, takdir yang sudah saatnya dan segala yang menjauhkannya dari sifat syukur dalam hatinya.
            Atau ketika keadaan membawa kita pada kondisi terendah dalam hidup kita mengapa kita hanya menjadi orang yang selalu memprotes eksistensi Tuhan, mengapa kita hanya menjadi orang yang selalu mengeluh, mengapa kita hanya menjadi orang yang selalu berprasangka buruk pada sang maha pencipta. Dibalik semua itu Allah hanya ingin melihat sejauh mana kesabaran hamba-hambaNya ketika mereka dicoba dengan kesusahan, kesempitan, kelaparan dan serba kekurangan.
            Saya jadi ingat ketika beranjak dewasa dahulu, orang tua saya memberikan  sedikit gambaran tentang bagaimana cara kamu bersyukur dan bersabar. Orang tua saya menceritakan apabila engkau suatu saat berkendara mobil maka untuk bisa merasakan bersyukur maka lihatlah orang yang masih berkendara sepeda motor, mereka terkena panas dan hujan. Ketika kamu berkendara sepeda motor maka lihatlah orang yang masih berkendara sepeda, mereka masih perlu mengayuh sepedanya untuk bepergian. Saat kamu berkendara sepeda maka kamu lihatlah orang yang yang masih berjalan kaki kemana-mana, setidaknya kamu masih lebih cepat dari jalan kaki. Ketika kamu berjalan kaki maka kamu lihatlah orang yang kurang beruntung dengan hanya berdiam diri dirumah karena kekurangan atau sakit yang tidak bisa membuat mereka beraktifitas. Saat kamu pada posisi seperti orang yang terakhir maka kamu lihatlah bahwa kamu masih diberi kesempatan hidup oleh Allah....maka bersyukur dan bersabarlah anakku.

            Jadi teringat kata-kata yang saya benar-benar lupa dari mana saya dapat sepenggal kata yang bunyinya Satu langkah patah, haruskah aku marah? Satu langkah surut, kenapa aku menuntut? Satu langkah karam, mestikah aku tenggelam? Tuhanku Engkau berseru ''nikmat Tuhanmu yg mana lagi akan engkau ingkari'' 

(ditulis dalam keadaan bersyukur telah melewati satu tahun yang sangat berarti 20 juni 2009 – 20 juni 2010)